Menurut perspektif sejarah, keberadaan zakat memang sudah ada pada periode Makkah, namun masih sebatas kewajiban shodaqoh yang belum ditentukan batas dan besarannya. Shodaqoh ini diperuntukan bagi fakir miskin, anak yatim dan orang-orang yang memerlukan bantuan atas dasar rasa iman, kerelaan hati, kemurahan hati dan perasaan tanggungjawab seseorang atas orang lain. Pada periode Makkah ini perintah zakat cenderung masih sebatas informasi saja, hal ini bisa dilihat dari ayat-ayat Makkiyah atau ayat-ayat yang turun di Makkah tentang zakat seperti surat Luqman ayat 2-4. Namun ada juga yang berpendapat bahwa zakat yang dimaksud pada periode Makkah ini adalah zakat mal (harta), dan zakat pada periode Madinah adalah zakat fitrah dan penjelasan tentang jenis, batas dan besaran zakat mal (harta).
Menurut jumhur ulama, penyebutan zakat didahulukan sebelum puasa. Adapun beberapa alasan yang mereka gunakan antara lain bahwa kewajiban zakat bukan hanya sebatas kewaiban zakat fitrah yang dikeluarkan setelah menjalankan ibadah puasa bulan Romadhon namun juga zakat mal (harta) yang wajib dikeluarkan setelah mencapai nisob dan haulnya. Alasan lain, bahwa ayat-ayat tentang sholat selalu didampingkan dengan zakat, karena keduanya diyakini mempunyai fungsi yang sama, yaitu sebagai pembersih. Sholat sebagai pembersih hati dan jiwa sedang zakat sebagai pembersih harta. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat dan menyebutkan puasa didahulukan daripada zakat. Mereka berargumen bahwa perintah kewajiban membayar zakat (zakat fitrah) turun setelah kewajiban berpuasa.
Terlepas
dari perbedaan kedua perdapat tersebut di atas, zakat tetaplah ibadah wajib
yang sangat penting dalam kehidupan kita. Bagaimana mungkin hati dan jiwa kita
akan bersih jika harta yang kita makan belum bersih, karena masih ada hak orang
lain di dalamnya. Wallohu ‘Aklam
doelhakeem

Tidak ada komentar:
Posting Komentar