Kebumen-GazawaOpini : Zakat adalah perintah Alloh SWT untuk
menyucikan harta yang kita miliki, jika harta itu racun maka zakatlah
penawarnya Berzakat berarti kita telah memberikan sebagian hak orang-orang yang
membutuhkan melalui rezeki yang kita dapatkan. Membayar zakat bagi yang telah
memenuhi syarat dan rukunnya adalah wajib sebagai bagian dari menunaikan rukun
islam. Adapun golongan penerima zakat terbagi menjadi delapan golongan
yaitu fakir, miskin, ‘amil zakat,
orang yang baru masuk Islam (mualaf), memerdekakan hamba sahaya,
membebaskan orang yang berhutang, berjuang meluhurkan agama Allah (fi
sabilillah), dan orang yang sedang berada dalam perjalanan (ibnu sabil).
Menurut mayoritas ulama mazhab Hanafi,
mazhab Maliki dan mazhab Hanbali tidak ada kewajiban
memberikan zakat secara merata kepada delapan golongan penerima zakat (asnaf)
baik bagi pembayar zakat (muzakki), pemerintah (al-imam), maupun
petugas pembagian zakat (as-sa’i). Tidak adanya kewajiban
meratakan pemberian zakat ini secara mutlak baik harta zakat berjumlah banyak
maupun sedikit. Bahkan, diperbolehkan membayar zakat hanya kepada satu orang
saja selama tidak lebih dari kadar kecukupan biaya hidup satu orang
tersebut. Semisal, pak Zaid ingin membayar zakat senilai empat
ratus ribu rupiah maka boleh ia cukup memberikan zakatnya
kepada satu orang fakir saja.
Pendukung pendapat ini, menurut Syekh Ahmad as-Shawi dan
mayoritas ulama mazhab Maliki huruf jer “lam” pada lafadz lil fuqoro’ dalam
ayat di atas bertujuan menunjukkan tujuan alokasi zakat (tasharruf zakat) bukan
kepemilikan zakat. Maka menurut mazhab Maliki, ayat di atas memberikan pilihan
kepada muzakki mengenai
tujuan alokasi zakat, bukan berarti setiap golongan penerima zakat berhak
mendapatkan bagian dari zakat setiap muzakki. Kemudian menurut Syekh Ahmad bin Muhammad al-Qaduri dan mayoritas ulama mazhab Hanafi tidak
ada kewajiban meratakan pembayaran zakat merujuk pada para sahabat Rosululloh
yang hanya membagikan zakat kepada satu golongan saja. Diceritakan dari
sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa
beliau mengambil zakat dari penduduk Yaman dan menjadikannya (memberikannya)
kepada satu golongan dari manusia dan beliau tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat (atas kebolehan pembagian tersebut) dari ulama salaf maka hal ini
menjadi ijma’ (kesepakatan
ulama). Kemudian menurut Syekh Manshur bin Yunus al-Buhuti dan mayoritas ulama mazhab Hanbali tidak
ada kewajiban meratakan pembayaran zakat karena ada ayat al-Qur’an yang
membolehkan membayarkan zakat hanya kepada orang-orang fakir. Ayat yang
dimaksud adalah surat al-Baqoroh ayat 271 yang artinya “Dan
jika kamu menyembunyikannya (sedekah) dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik
bagimu”.
Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, menurut mazhab Syafi’i wajib membagikan zakat
kepada delapan golongan (asnaf) penerima zakat. Hal ini karena
huruf jer "lam” pada lafadz lil fuqoro bermakna tamlik
(kepemilikan) serta huruf wawu-nya ‘athaf bermakna musyarokah (kepemilikan
bersama). Walhasil, pemerintah (al-imam) harus membagikan
zakat secara merata kepada delapan golongan penerima zakat. Hal ini karena
setiap harta zakat adalah milik bersama bagi delapan golongan penerima zakat. Sedangkan muzakki sangat dianjurkan membagikan secara merata
kepada delapan golongan bila memungkinkan. Seandainya tidak memungkinkan maka
muzakki dapat membagikan zakat skala prioritas kepada golongan-golongan yang ditemui di
daerahnya, dan harus membagikan zakat minimal kepada tiga orang dari setiap
golongan penerima zakat.
Bagaimana dengan zakat fitrah?
Pendapat pertama, karena zakat fitrah termasuk
salah satu jenis zakat, maka menurut mazdab Syafi’i masuk
dalam keumuman firman Alloh SWT dalam surat at-Taubah ayat 60,
sebagaimana pendapat Ibnu Qudamah Al-Maqdisi yang mengatakan
bahwa zakat fitrah diberikan kepada pihak yang boleh diberi zakat harta (mal),
seperti itu karena zakat fitrah termasuk jenis zakat, maka penyalurannya
sebagaiman penyaluran seluruh zakat-zakat. Karena sesungguhnya ia (zakat
fitrah) termasuk zakat yang masuk dalam keumuman firman Alloh SWT
surat at-Taubah ayat 60.
Pendapat kedua, bahwa yang berhak menerima
zakat fitrah itu hanyalah fakir miskin, mereka berdalil bahwa Rosululloh
SAW mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari
bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang-orang
miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima
dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya sedekah
diantara berbagai sedekah. Dalam hadits ini Rosululloh SAW sendiri menyatakan
bahwa zakat fitrah itu untuk memberi makan orang-orang miskin, oleh
karena itu penyalurannya hanya kepada mereka, dan bukan delapan golongan (asnaf).
Pendapat kedua ini mendapatkan kritikan, bahwa pendalilan dengan
hadits di atas untuk pendapat bahwa zakat fitrah hanya diberikan kepada fakir
miskin saja, ini adalah pendalilan yang tidak tepat. Karena penyebutan kelompok
fakir miskin dalam hadits di atas bermakna dzikru ba’dhi afrodil ‘am (penyebutan
sebagian dari sesuatu yang bersifat umum). Artinya jika Rosululloh SAW
menyebutkan kelompok fakir miskin dalam hadits di atas, maka
beliau menyebutkan salah satu golongan yang berhak menerima zakat dari delapan
golongan (asnaf), bukan berarti sebagai pembatasan. Kalimat-kalimat seperti
ini tidak bisa dijadikan takhsish (pengkhususan) untuk sesuatu
yang umum. Karena jika tidak demikian, nanti zakat mal juga
hanya untuk fakir miskin saja, sebab dalam sebuah hadits yang berbeda
Rosululloh SAW memerintahkan kepada Mu’adz untuk memberikan zakat mal kepada
orang-orang fakir saja, akan tetapi tidak ada seorangpun ulama’ yang menyatakan
demikian.
al-Imam Ash-Shon’ani ra berkata :
وَفِي قَوْلِهِ ” طُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ ” دَلِيلٌ عَلَى
اخْتِصَاصِهِمْ بِهَا وَإِلَيْهِ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْآلِ وَذَهَبَ آخَرُونَ
إلَى أَنَّهَا كَالزَّكَاةِ تُصْرَفُ فِي الثَّمَانِيَةِ الْأَصْنَافِ
وَاسْتَقْوَاهُ الْمَهْدِيُّ لِعُمُومِ {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ} [التوبة: 60]
وَالتَّنْصِيصُ عَلَى بَعْضِ الْأَصْنَافِ لَا يَلْزَمُ مِنْهُ التَّخْصِيصُ
فَإِنَّهُ قَدْ وَقَعَ ذَلِكَ فِي الزَّكَاةِ وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ بِتَخْصِيصِ
مَصْرِفِهَا فَفِي حَدِيثِ مُعَاذٍ «أُمِرْت أَنْ آخُذَهَا مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ
وَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ»
Dalam ucapannya - untuk memberi makan orang-orang miskin,
terdapat dalil pengkhususan zakat fitrah untuk mereka (orang-orang miskin). Dan
kepada hal ini sekelompok dari keluarga ahli bait berpendapat.
Adapun ulama’ yang lain berpendapat, sesungguhnya zakat fitrah disalurkan
kepada delapan golongan, dan hal ini dirasa kuat oleh al-Mahdi karena keumuman
firman Alloh Ta’ala : “Sesungguhnya zakat-zakat itu….” Surat at-Taubah ayat 60.
Penetapan atas sebagian golongan (yang berhak menerima zakat) tidaklah
mengharuskan pengkhususan darinya. Karena hal ini juga terjadi pada zakat mal.
Akan tetapi tidak ada seorangpun ulama yang mengkhususkan penyalurannya
kepadanya saja. Maka dalam hadits Mu’adz bin Jabal beliau
berkata : “Aku diperintah untuk mengambil zakat mal dari orang-orang kaya
dari kal kalian dan aku salurkan kepada orang-orang fakir dari kalian”. Wallohu’aklam

Tidak ada komentar:
Posting Komentar