Senin, 04 Maret 2024

LITERASIZAWA : ZAKAT vs KHOROJ

 

Kebumen - GazawaOpini : Hubungan zakat dan pajak nampaknya telah dimulai sejak masa-masa awal pengembangan Islam, tepatnya masa pemerintahan Khulafaur Rosyidin. Tercatat dalam sejarah Islam tatkala pasukan Islam berhasil menaklukkan wilayah Irak pasukan Islam berhasil mendapatkan harta rampasan perang atau ghonimah. Setelah terjadi perdebatan panjang, Khalifah Umar bin Khottob ra atas saran-saran para sahabatnya memutuskan untuk tidak membagikan ghonimah tersebut, termasuk juga tanah bekas wilayah taklukan tersebut. Tanah-tanah tersebut ditetapkan tetap menjadi milik penduduk setempat, namun dengan konsekuensi penduduk di wilayah Irak tersebut diwajibkan untuk membayar pajak tanah atau khoroj, bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk agama Islam. Sejak itu, maka berlakulah pajak tanah bagi kaum muslimin yang dibayarkan pada negara di luar zakat, dan ketentuan tersebut berlanjut hingga masa Daulah Umayyah, Abbasiyyah, dan terakhir Daulah Utsmaniyyah.

Seiring berjalannya waktu hubungan zakat dan pajak menjadi terbalik dalam aplikasinya, zakat yang awalnya menjadi sumber utama keuangan negara lambat laun bergeser digantikan oleh pajak. Keadaan ini dimulai seiring dengan kemunduran kaum Muslimin dan berkibarnya kolonialisme bangsa barat atas negara-negara Islam. Hegemoni peradaban Barat lambat laun mampu mengebiri hukum-hukum syar’i, dan lebih mengutamakan hukum-hukum wad’i. Kewajiban zakat disubordinasikan dan diganti dengan kewajiban pajak, implikasinya berbagai penyimpangan pun tidak terelakkan lagi, bahkan penyalahgunaan fungsi dari pajak tidak dapat dihindarkan dan terkontrol sebagaimana mestinya. Dan puncaknya fungsi zakat sebagai pemasukan negara dikebiri dan menggantikannya dengan pajak. Keadaan-keadaan inilah yang kemudian mendorong lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris (1215), Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Amerika (1775-1781), yang ini semua merupakan bukti konkrit dari adanya penyimpangan-penyimpangan dan ketidakpuasan rakyat terhadap ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlebihan dan semena-mena yang dilakukan oleh para penguasa.

Dimasa kini, keberadaan zakat masih sekedar dan disamakan dengan sumbangan sosial keagamaan, artinya zakat tak ubahnya semacam biaya sosial (social cost) seperti sumbangan kegiatan sosial, bantuan sosial dan sejenisnya. Hal ini sungguh amat mengecilkan makna zakat itu sendiri, karena sejarah mencatat zakat sebagai sebuah sumber pendapatan negara di masa Rosululloh SAW, para Khulafaur Rosyidin dan para khalifah sesudah beliau. Jika zakat hanya dijadikan sebagai social cost yang sifatnya sukarela, sungguh ini sangat ironis.

Terlepas dari hal tersebut, masalah zakat dan pajak ini serasa akan senantiasa menjadi polemik yang tak kunjung usai dikalangan masyarakat Muslim. Namun diyakini polemik ini justru akan membawa dampak pada perkembangan yang sangat dinamis seputar pengelolaan dana zakat dan pajak di negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Berbekal pengalaman sejarah panjang tentang model terbaik, akulturasi antara budaya Barat dan budaya Timur, maka sudah bukan saatnya lagi budaya-budaya tersebut dihadap-hadapkan dalam posisi yang berlawanan, akan tetapi bagaimana agar budaya-budaya tersebut diambil yang terbaik untuk kemaslahatan umat manusia sebanyak-banyaknya. Inilah mestinya tantangan nyata kaum intelektual muslim mengkolaborasikan antara zakat dan pajak agar dapat menelorkan konsep dan argumentasi yang terbaik untuk kemaslahatan ummat. (arch)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ZAWACORNER : DO'A ZAWA KETIKA HUJAN

  Kebumen - zaWAcorner  : Hujan bagi sebagian orang mungkin dinilai hanya sebagai fenomena alam yang lumrah dan biasa. Sebuah siklus air y...