Selasa, 09 Mei 2023

LITERASIZAWA : METODE SAKILAN SAKEPELAN

 

Kebumen-GazawaOpini : Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama ketika menentukan dan menetapkan arah kiblat ketika sholat. Apakah yang dihadapi itu zat ka’bah itu sendiri atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja. Menurut Imam Syafi'i, orang yang melihat ka’bah melakukan sholat wajib mengarah pada zat ka'bah (mustakbilal ka'bah), sedangkan orang yang jauh dari ka'bah cukup dengan memperkirakan saja (mustakbilal kiblat). Menurut imam mujtahid lainnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Hanbali mewajibkan orang yang jauh dari ka'bah untuk menghadap ke arah ka'bah saja, alasannya tak mungkin bagi orang yang jauh dari ka'bah untuk menghadap ke zat ka'bah itu sendiri.

Menurut para imam mujtahid seseorang melakukan sholat di tempat yang sangat gelap boleh menghadap ke arah yang diyakini, dan sholatnya dinyatakan sah asalkan ia telah melakukan sholat tersebut. Akan tetapi, jika ketika selesai sholat mengetahui bahwa arah kiblat yang dihadapinya salah, maka sholatnya wajib diulangi kalau masih ada waktu. Akan tetapi menurut as-San'ani dan asy-Syaukani memandang sholat yang telah dikerjakan itu tak perlu diulang, karena sudah sah. Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang sulit dan memberatkan. Namun demikian, perlu berusaha memadukan antara teks dan konteks sebagai langkah ikhtiyat agar pemahaman tentang arah kiblat mendekati kebenaran.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menetapkan arah kiblat alias posisi lurus dengan ka’bah di Makkah. Bagi yang mahir ilmu falak, arah kiblat bisa dilakukan dengan menggunakan penghitungan matematis menggunakan rumus segitiga bola atau yang dikenal dengan Spherical Trigonometri dengan mengetahui terlebih dahulu koordinat Lintang dan Bujur, baik ka’bah maupun lokasi yang akan diukur. Meski agak rumit, cara ini bisa dilakukan kapan saja, tanpa menunggu waktu-waktu khusus. Kemudian ada pula cara yang dinilai lebih gampang, yakni berpatokan kepada bayang-bayang yang dihasilkan matahari pada peristiwa istiwa’ a’dham atau rashdul qiblat. Saat rashdul qiblat berlangsung, posisi matahari tepat di atas ka’bah sehingga seluruh bayangan benda tegak lurus akan mengarah ke arah kiblat Baitulloh. Rashdul qiblat ini hanya terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 28 Mei atau 27 Mei di tahun kabisat sekitar pukul 16.18 WIB dan 16 Juli atau 15 Juli di tahun kabisat sekitar pukul 16.27 WIB, dimana pada jam-jam tersebut merupakan waktu dhuhur untuk kota Makkah.

Ada pula metode gampangan alias cara bodon yang kadang dijadikan patokan dikalangan masyarakat jawa yang diajarkan oleh para ulama kuno untuk memperkirakan arah kiblat alias posisi lurus dengan ka’bah di Makkah, penulis dapat dari keterangan simbah kyai haji Nurchamid Wonoyoso. Metode ini dikenal dengan istilah sakilan sakepelan, artinya bahwa setelah kita mengetahui dengan pasti empat arah mata angin yaitu Utara, Timur, Selatan dan Barat, kemudian dari titik sentral kita ambil jarak sakilan kearah Barat, setelah itu kita ambil jarak dari titik tersebut sakepelan kearah Utara, kemudian dari titik tersebut kita buat garis lurus ketitik sentral mata angin, maka kita akan dapatkan perkiraan arah kiblat. Wallohu a’lam @doelhakeem

Minggu, 07 Mei 2023

LITERASIZAWA : HADIS, QODIM, MUTAGHOYYIR DAN TSABIT

 

Kebumen - Gazawa : Sedikit nyjlimet, mari kita berkenalan dengan hadis, qodim, mutaghoyyir dan tsabit. Kita sapa terlebih dahulu hadis dan qodim, baru kemudian dilanjut dengan pembahasan mutaghoyyir dan tsabit. Hadis disini bukan dalam pengertian umum atau dalam pembahasan ranah teologis Islam yang berarti sebuah kumpulan dawuh, sabda serta tindak tanduk perbuatan Rosululloh SAW yang diriwayatkan atau diceritakan oleh para sahabat Beliau. Akan tetapi hadis disini dalam pengertian pembahasan ilmu filsafat yang berarti baru, sedangkan qodim berarti lama.

Para filsuf menguraikan arti hadis secara harfiah yaitu eksistensinya didahului dengan ketiadaan eksistensinya, artinya ia baru ada sebelum keberadaan itu ada. Sedangkan qodim yaitu eksistensinya tidak didahului ketiadaan eksistensinya, artinya ia selalu ada dan tak pernah tidak ada serta tidak didahului oleh ketiadaan. Dari sini kemudian muncul persoalan apakah semua keberadaan di alam ini, itu hadis atau qodim.

Berkenaan dengan persoalan tersebut di atas, terdapat dua pemikiran besar yang saling pertentangan, yaitu pemikiran di kalangan para filsuf dan pemikiran kaum teolog. Kaum teolog menganggap bahwasanya yang qodim itu hanyalah Alloh SWT, ada sebelum ketiadaan itu ada dan ia selalu ada. Dan karena itu segala sesuatu selain Alloh SWT memerlukan sebab untuk mengada atau meng-eksistensi diri. Oleh sebab itu segala sesuatu yang memerlukan sebab maka adalah hadis. karena sebelum eksisnya sesuatu tersebut, pasti berawal dari ketiadaan. Maka kaum teolog menganggap bahwasanya di alam jagad raya ini hanyalah Alloh SWT yang qodim, selebihnya adalah hadis.

Berbeda dengan kaum teolog, para filsuf menganggap bahwasanya indikator eksistensi selalu ada atau qodimnya sesuatu itu tidak bergantung pada sebab, dan mengkritik para teolog yang mengira bahwa jika ada sesuatu yang memiliki eksistensi yang azali, kekal dan abadi dan senantiasa ada, pasti tidak membutuhkan sebab. Padahal permasalahannya tidaklah demikian, kebutuhan dan ketidakbutuhan sesuatu terhadap sebab, berhubungan dengan esensi dari sesuatu tersebut. Mereka menganalogikan seperti matahari dan sinar matahari, mereka selalu jalan beriringan dan tidak akan pernah terpisah, karena disatu sisi sinar matahari butuh kepada sebab untuk selalu ada, dan matahari sendiri sebagai konsekuensi dari adanya sinar matahari tersebut.

Berlanjut kita menyapa berkenalan dengan mutaghoyyir dan tsabit. Mutaghoyyir berarti berubah-ubah sedangkan tsabit berarti konstan, sama seperti sedia kala. Pembahasan mengenai dua hal ini adalah pembahasan yang cukup abstraksi, karena segala sesuatu berhubungan dengan perubahan dan gerakan dari satu keadaan ke keadaan yang lain, dan selalu melewati jangka waktu tertentu yang berakhir sampai titik kematian. Dari sini kemudian timbul pertanyaan, apakah perubahan atau pergerakan di alam ini selalu berubah-ubah dalam artian dinamis ataukah ia berubah atau bergerak tetapi konstan dalam artian statis.

Heraclitus pada masa Yunani Kuno meyakini bahwa segala sesuatu tengah berjalan dan tidak ada yang konstan dan statis, artinya segala sesuatu itu dinamis, sementara itu Democritos berpendapat bahwa sesuatu itu berubah akan tetapi ia hanya berubah secara konstan dan statis, dan berubahnya sesuatu tersebut hanya terjadi di bagian luarnya saja sama seperti teori atom yang ia cetuskan. Dalam teori atomnya, ia mengatakan sesuatu hanya berubah di bagian luarnya saja, sedang esensinya berada pada suatu kondisi yang tetap dan stabil atau statis serta mekanistik. Berbeda dengan dua filsuf Yunani Kuno di atas, Aristoteles menganggap bahwasanya sesuatu di alam ini tidak ada yang konstan dan statis, akan tetapi terjadi pada gerak substansial, baik terjadi secara spontan maupun konstan yang relative. Aristoteles berkeyakinan bahwasanya gerak itu hanya terjadi dalam kategori kuantitas, kualitas, serta lokasi

 Disadur dari Kompasiana.com :

https://www.kompasiana.com/mannalintizhaa/620b00efbb44864c0c306807/hadis-qadim-mutaghayyir-dan-tsabit.

Kreator @doelhakeem

Rabu, 03 Mei 2023

LITERASIWAKAF : NADZIR HARUS TLATEN TERHADAP MAWQUF

 



Kebumen-GazawaOpini : Nadzir wakaf adalah orang atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Sedangkan menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4) tentang wakaf menjelaskan bahwa nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nadzir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjukan nadzir wakaf. Pengangkatan nadzir wakaf ini bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus, sehingga harta wakaf itu tidak mubazir sia-sia. Sedemikian pentingannya kedudukan nadzir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya harta wakaf sangat bergantung pada nadzir wakaf. Meskipun demikian tidak berarti bahwa nadzir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanahkan kepadanya.

Pada umumnya, para ulama telah bersepakat bahwa kekuasaan nadzir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki wakif. Dengan demikian nadzir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada mawquf 'alaih atau orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal. Keberadaan nadzir ini juga sebagai perantara antara wakif dan mawquf alaih agar tujuan wakif dalam mewakafkan hartanya (mawquf) benar-benar dapat dinikmati oleh mawquf ‘alaih dan terjamin keberlangsungannya untuk selamanya.

Menurut sejarah, awal mula munculnya istilah nadzir terjadi pada masa Rosululloh SAW ketika sahabat Umar bin Khottob ra mewakafkan sebidang tanah kebun kurma di daerah Khaibar. Sahabat Umar bin Khottob ra kemudian meminta nasehat kepada Rosululloh SAW tentang harta itu, maka Rosululloh SAW menyarankan agar mewakafkan tanahnya dan bersedekah dengan hasilnya. Maka sahabat Umar bin Khottob ra pun mewakafkan harta itu dengan arti bahwa tanah itu tidak boleh lagi dijual, dihibahkan dan diwariskan, dan menyedekahkan hasil harta itu kepada yang fakir, kepada kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk berjuang di jalan Alloh SWT, untuk orang yang terlantar dan tamu. Kemudian orang-orang yang mengurusnya (nadzir) diperbolehkan memakan harta itu secara patut atau memberi, selama tidak bermaksud mencari kekayaan.

Berangkat dari keterangan peristiwa sejarah tersebut di atas maka muncullah istilah nadzir,  dan dari sini pula melahirkan ketentuan bahwa nadzir sebagai pengelola wakaf berhak mendapatkan atau menikmati hasil tanah wakaf dalam batas-batas tertentu. Kemudian dalam kontek pada waktu itu, praktiknya ketika sahabat Umar bin Khottob ra mewakafkan tanahnya, beliau sendiri yang menjadi nadzir-nya. Namun setelah beliau meninggal dunia, pengelolaan wakaf diserahkan kepada putrinya Hafsoh, setelah itu pengelolaan wakaf ditangani oleh Abdullah ibn Umar, dan begitu seterusnya berdasarkan wasiat sahabat Umar bin Khattob ra. Peristiwa ini membuktikan bahwa nadzir sangat diperlukan demi kelangsungan dan tercapainya tujuan wakaf. Nadzir harus amanah, bahkan jika ada kekhawatiran nadzir tidak amanah, wakif boleh sekaligus sebagai nadzir sebagaimana dicontohkan sahabat Umar bin Khottob ra.

Adapun kewajiban pokok nadzir adalah melaksanakan amanah peruntukan wakif agar kondisi harta wakaf tetap terjaga dan kemanfaatannya bisa terus dipertahankan, sehingga kemaslahatan mawquf ‘alaih bisa terpenuhi. Dan nadzir dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemelihara dan pengurus harta wakaf dalam rangka mengekalkan manfaat harta wakaf itu sesuai dengan tujuannya, juga mempunyai hak untuk mendapatkan ujroh atau upah yang wajar dan layak, selama keberadaan ujroh tersebut tidak bermaksud untuk mencari kekayaan semata. Nadzir memang bukan pemilik mawquf atau harta wakaf, namun nadzir harus memiliki rasa andarbeni terhadap harta wakaf, sehingga dalam melaksanakan amanah wakif dapat dilaksanakan dengan tlaten, amanah dan sepenuh hati. Wallohu a’lam @doelhakeem

 

 

Selasa, 02 Mei 2023

REFLEKSI PERTEMUAN DAN PERPISAHAN : THE POWER OF LOVE

 

Kebumen-GazawaOpini : Kelak pada hari kiamat, Alloh SWT akan memberikan perlindungan kepada tujuh golongan, dan salah satu diantaranya adalah dua orang yang saling mencintai karena Alloh SWT, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Alloh SWT. Namun bukan sekedar permasalah pertemuan dan perpisahan semata, akan tetapi seberapa besar pengaruh keduanya mampu menyadarkan iman kita pada qodho dan qodhar Alloh SWT, dan menumbuhkan rasa cinta kepada Alloh SWT. Sehingga Imam Ghozali pernah mengatakan, adakalanya rizki datang dalam bentuk seseorang, kedatangan seorang yang sholih dan membawa kebaikan akan menumbuhkan rasa cinta kepada Alloh SWT, yang tentunya akan membawa keselamatan kita di dunia dan akherat.

 

Pertemuan dan perpisahan adalah taqdir, sebagaimana pertemuan nabi Khidir as dengan nabi Musa as bukanlah atas kehendak mereka sendiri, melainkan sudah digariskan dalam taqdir Alloh SWT, begitupun perpisahan keduanya. Perpisahan yang berlangsung begitu indah, seindah saat awal bertemunya karena tidak meninggalkan perasaan dendam, apalagi sikap saling membenci atau permusuhan diantara mereka. Nabi Musa as menghormati ilmu hakikat yang menjadi pegangan nabi Khidir as. Demikian pula sebaliknya, nabi Khidir as menghormati ilmu syari’at yang dipegang teguh nabi Musa as sebagai seorang rosul, yang harus disampaikan dan ditaati oleh umatnya. Keduanya berkumpul karena Alloh SWT, berpisah pun karena Alloh SWT. Mereka hanya berpisah secara raga, tetapi hati mereka tetap menyatu dan saling mendoakan.

 

Begitupun dalam kehidupan kita, banyak orang yang telah datang dan pergi, okeh wong sing teka lunga. Itu karena Alloh SWT telah menjumpakan kita dengan orang-orang yang telah digariskan dalam catatan takdir-Nya, mereka pun datang silih berganti. Ada yang melintas dalam segmen singkat namun membekas di dalam hati, ada yang telah lama berjalan beriringan tetapi tak disadari arti kehadirannya, ada pula yang begitu jauh di mata namun kehadiran dan penampakannya begitu melekat di hati. Bahkan ada pula yang datang dan pergi begitu saja, seolah-olah tak pernah ada. Itulah taqdir, dan mereka yang pernah singgah dalam kehidupan kita, bagaikan kepingan puzzle yang saling melengkapi dan membentuk sebuah gambaran holistik kehidupan kita.

 

Relakan sebuah perpisahan dan syukurilah sebuah pertemuan. karena semua itu adalah fitroh bila ada pertemuan pasti ada perpisahan. Maka berbahagialah atau berpura-puralah bahagia, karena setidaknya itu menjadi bukti bahwa kita iman pada qodho dan qodhar Alloh SWT. Hiasilah dan tumbuhkanlah pada setiap pertemuan dan perpisahan dengan rasa cinta karena Alloh SWT, karena rasa cinta inilah yang akan mempertemukan kita kembali di jannah, the power of love. Seorang Badui pernah bertanya pada Rosululloh SAW,  Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasululloh?” Beliau berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang Badui tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak sholat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah rasa cinta kepada Alloh SWT dan Rosul-Nya”. Dengan tatapan penuh cinta dan kasih sayang, Rosululloh SAW pun berkata,Engkau akan bersama orang yang engkau cintai di surga”. Aamiinn wallohu a’lam  @doelhakeem

 

ZAWACORNER : DO'A ZAWA KETIKA HUJAN

  Kebumen - zaWAcorner  : Hujan bagi sebagian orang mungkin dinilai hanya sebagai fenomena alam yang lumrah dan biasa. Sebuah siklus air y...