![]() |
Kebumen-GazawaOpini : Rosululloh SAW
bersabda, “Tidak sah nikah tanpa adanya
seorang wali”, derajat hadits ini shohih
menurut Syech Al-Bani dan hadits ini
diriwayatkan oleh Ashabus Sunah
diantaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi
dan Ibnu Majah. Hadits ini juga
menjadi dasar hukum bahwa sebuah pernikahan harus ada wali nikahnya, karenanya
keberadaan wali nikah adalah rukun nikah yang harus ada, jika tidak ada wali
nikahnya atau salah wali nikahnya maka pernikahannya tidak sah atau bathil. Abd al-Rahman al-Jazairy dalam al-fiqh
‘ala Mazahibil al-Arba’ah mengungkapkan bahwa wali dalam nikah adalah yang
padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya dia
(wali).
Wali
nikah adakalanya wali nasab
adakalanya wali hakim. Dalam hal
pernikahan dengan wali hakim dapat terjadi
karena beberapa sebab, diantaranya wali nikah berada ditempat yang jauh atau masyafatul qoshri dan bisa juga karena
walinya tidak diketahui keberadaanya atau ghoib.
Seiring dengan perkembangan zaman, regulasi dan tata aturan pun tak luput ikut
terkena imbasnya, begitu juga perubahan PMA Nomer 19 Tahun 2018 menjadi PMA
Nomer 20 Tahun 2019 tidak terelakan lagi. Dan adapun imbas dari perubahan PMA
ini diantaranya dihapuskannya alasan perpindahan wali nasab ke wali hakim dengan
alasan masyafatul qoshri, dengan
dalih bahwa semua wilayah di Indonesia dan juga perwakilan di luar negeri telah
memliki Kantor Urusan Agama ataupun kedutaan luar negeri, sehingga wali
tersebut dapat mewakilkan hak perwaliannya dengan taukil wali bil kitabah melalui instansi yang dimaksud. Sehingga
dimanapun dan sejauh apapun posisi wali nikah tidak bisa menjadi dasar untuk
perpindahan wali nasab ke wali hakim.
Paimin wali nikah dari Tarmijah,
janda kembang yang baru setahun ditinggal mati suaminya, Paimin merantau ke
luar jawa dipedalaman Kalimantan, Paimin
dapat dihubungi lewat telephon ketika Tarmijah
pamit mau menikah, dan Tarmijah meminta
Paimin untuk segera pulang atau kalau
tidak bisa pulang agar taukil wali bil
kitabah ke Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat, kata Tarmijah meneruskan pesen pak Modin
padanya. Paimin angkat tangan, pulang
kampung butuh biaya yang besar, ke Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat bagi
Paimin seperti mencari jarum dalam
tumpukan jerami, dan kalau pun Paimin bisa sampai ke Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat, belum tentu Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat mau menerima
dan mengeluarkan bukti taukil wali bil
kitabah mengingat Paimin bukan warga asli Kalimantan. Pokoknya Paimin angkat tangan, dan Tarmijah yang sudah ngebet
hanya bisa sambat dan menangis di
hadapan Penghulu Kepala Kantor Urusan Agama, mohon kebijaksanaan.
Dilematis, itulah yang terjadi mensikapi permasalah Tarmijah tersebut,
dan dalam hal ini ada kalanya kembali memunculkan bias kebijakan dikalangan pemangku kebijakan di tingkat Kecamatan. Taukil wali bi telephon belum ada dasar
hukumnya yang pasti, sementara secara syar’i diyakini masih boleh menggunakan
alasan masyafatul qoshri untuk pindah
ke wali hakim, masyafatul qoshri
sudah tidak lagi diperbolehkan menurut regulasi. Berangkat dari dilematis inilah yang pada akhirnya sering
kali melahirkan kebijakan pemangku kebijakan dalam masyarakat mengghoibkan Paimin agar pernikahan Tarmijah tetap bisa berjalan, masyafatul qorsyi rasa qhoib “jauh
dimata hilang di alibi”. Wallohu ‘Aklam. @doelhakeem

Tidak ada komentar:
Posting Komentar