Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara
istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan menghabiskan kesalahan serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
( QS.
At-Taghabun/64:14 )
Halal bi halal di negara kita sudah menjadi sebuah budaya yang khas
terutama pasca menjalankan ibadah puasa di bulan Romadhon. Budaya halal bi
halal ini mengandung sebuah harapan besar di kalangan masyarakat kita,
dimana secara vertikal setelah
terhapusnya dosa-dosa dihadapan Alloh SWT sebagai ujroh dari ibadah
puasa kita di bulan Romadhon, maka secara horisontal
kita pun berusaha untuk saling memaafkan segala kesalahan dengan sesama manusia
dengan jalan bersilaturahmi dalam bingkai budaya “halal bi halal“ ini.
Sehingga substansi kegiatan ini
sebenarnya adalah kerelaan untuk bermaaf-maafan sebagai pangkal tolak untuk
kembali memulai kehidupan yang fitroh.
Budaya halal bi halal pasca Romadhon ini sudah
sekian lama tumbuh dan berkembang pada semua lapisan masyarakat kita, baik dari
kalangan
masyarakat lapisan atas sampai dengan kalangan
paling bawah. Mereka semua sudah mentradisikan moment
ini sebagai sebuah ajang untuk bersilaturahmi dan saling maaf memaafkan
diantara mereka setelah berinteraksi selama satu tahun lamanya. Budaya halal bi halal dalam perkembangannya dari tahun ke tahun kalau
kita mau amati justru semakin menurun
kuantitas dan kualitasnya, bahkan cenderung terjebak pada euforia sesaat. Keadaan ini semakin diperdangkal maknanya dengan adanya kemajuan
teknologi telekomunikasi yang begitu pesat dewasa ini, dimana budaya halal
bi halal dengan bersilaturahmi dan
saling maaf memaafkan diantara mereka sering kali dianggap sudah cukup hanya
dengan perantara kecanggihan alat telekomunikasi seperti Handphone, WhatsApp, Facebook dan lain sebagainya. Sehingga greget
dan keceriaan masyarakat kita dalam menyambut hari raya Idhul Fitri dan
budaya halal bi halal ini semakin tahun semakin terasa hambar. Begitu juga
frekwensi bersilaturahmi diantara kita semakin jarang terjadi, dan ucapan
saling maaf memaafkan juga semakin terasa kering dalam kerongkongan kita.
Kata halal bi halal dengan
budaya bersilaturahmi dan saling maaf memaafkan banyak asumsi yang mengatakan
tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab dan hanya ditradisikan di Indonesia saja. Namun menurut Prof. Dr. Salman Harun kata halal bi
halal sebenarnya terdapat dalam kamus bahasa Arab meski dalam ungkapan yang
berbeda, dimana menurut kamus kata “halal” memiliki dua makna yaitu
membuka buhul dan mengihlaskan. Sehingga kata halal bi halal secara
harfiyah berarti halal dengan halal dan bisa diartikan juga sebagai
ungkapan untuk saling memaafkan satu sama lain atau tindakan saling memaafkan
dalam interaksi antar manusia.
Dalam Islam, tindakan saling memaafkan dalam interaksi
antar manusia lebih lanjut disinggung dalam al Qur’an surat al Taghabun (46)
ayat 14, dimana didalamnya telah tersirat mekanisme
yang mengisyaratkan bahwa interaksi antar manusia pada saat tertentu adakalanya
akan menimbulkan suatu konflik dan permusuhan diantara mereka, baik konflik dan
permusuhan yang terjadi dalam satu tingkatan (dengan istri-istrimu) maupun
konflik dan permusuhan yang terjadi dalam tingkatan yang berbeda (dengan anak-anakmu). Sebagaimana dipahami dari ayat tersebut, solusi ketika konflik dan
permusuhan ini terjadi maka
ada tiga tingkatan antisipasi penyelesaian yang berbeda yang ditawarkan, yaitu memaafkan, menghabiskan kesalahan dan mengampuni.
1. Memaafkan ( ‘afw )
Kata memaafkan adalah sebuah tindakan yang ditujukan atas
kesalahan seseorang atau orang lain. Memaafkan berarti menghapus kesalahan sesesorang atau orang
lain sehingga kesalahan tersebut hilang dalam file ingatan kita. Seseorang yang
mampu melakukan hal ini berarti pula ia telah bersifat pemaaf dan perkasa.
Karena memang hanya orang-orang yang berjiwa besar dan perkasalah yang mampu
memaafkan atau menghapus kesalahan orang lain dari file ingatannya. Tindakan
memaafkan atau menghapus kesalahan seseorang atau orang lain merupakan tindakan
yang sangat mulia. Menghapus kesalahan seseorang atau orang lain dalam file
ingatan kita tidaklah bisa sebersih sebelum terjadinya kesalahan itu sendiri.
Bekas luka goresan kesalahan itu adakalanya masih tampak berbekas dan tidak
menutup kemungkinan pada saat-saat tertentu akan dapat menebal kembali menjadi
sebuah kesalahan abadi.
2. Menghabiskan kesalahan ( safh )
Menghabiskan kesalahan (safh) seakan memiliki
pengertian yang sama dengan menghapus kesalahan (‘afw), padahal secara
harfiyah kata safh berarti lembaran dalam arti memberikan
lembaran baru yang masih bersih. Tingkatan antisipasi penyelesaian yang kedua
ini berarti memaafkan kesalahan bukan sekedar menghapus kesalahan saja, akan
tetapi menghabiskan kesalahan dengan mengganti lembaran baru dalam file ingatan
kita. Maksudnya jika suatu kesalahan hanya sebatas dihapus dari atas lembaran
kertas saja, maka tentu masih tertinggal juga sedikit noda di atas kertas
tersebut, namun jika kita mengganti kertas tersebut dengan yang baru dan
bersih, maka tentu tidak akan ada noda di atasnya. Kemudian dari kata safh ini terambil juga kata safhah dan musha-fahah yang berarti muka dan bersalaman, maka tingkatan
menghabiskan kesalahan diantara yang bersalah dalam hal ini diperlukan
pertemuan dan berhadapan untuk memperlihatkan raut muka yang tulus dan jernih
serta berjabatan tangan. Sehingga tingkatan menghabiskan kesalahan
tidaklah cukup dengan handphone, internet dan lain sebagainya, akan
tetapi perlu adanya pertemuan, bersilaturahmi dan halal bi halal.
3. Mengampuni ( maghfirah )
Tingkatan
yang ketiga adalah mengampuni (maghfirah) yang secara harfiyah berarti
mengampuni dan melindungi dari segala yang mengganggu. Tingkatan ini merupakan
rangkuman dari kedua tingkatan tersebut di atas, dalam arti bahwa disamping
memaafkan kesalahan dan menghabiskan kesalahan seseorang dengan
membuka lembaran baru yang bersih, namun juga sekaligus mengampuni dan
melindungi dari segala yang mengganggu orang tersebut. Adalah Rosululloh SAW
sebagai uswah bagi kita, sejarah telah mencatat ketika Beliau hijrah ke Thoif
pasca wafatnya istri Beliau Siti Khotijah dan paman beliau Abu Tholib untuk
menemui saudara Beliau Bani Kinanah, akan tetapi ternyata disambut dengan
cacian dan lemparan batu menolak kedatangan Beliau atas hasutan Abu Jahal dan
Amr bin Ash. Beliau terluka dan teraniaya, namun beliau tetap bersabar dan
lebih suka mengampuni dan mendo’akan untuk kebaikan dan kesadaran penduduk
Thoif, walaupun sesungguhnya para Malaikat menawarkan agar Beliau memohon pada Alloh SWT untuk membalikkan tanah Thoif dan para penduduknya. Kemudian
dalam kisah yang lain, diceritakan ada seorang Quraisy Jahiliyah yang selalu
meludahi Rosululloh SAW setiap kali beliau berangkat dan pulang ke Masjid,
namun Beliau pun tetap bersabar dan mengampuni orang tersebut. Bahkan ketika
orang tersebut sakit, Beliau pulalah orang pertama yang menengok, mendo’akan
dan memberikan makanan untuknya serta melindungi keselamatannya
Demikianlah
tiga tingkatan antisipasi penyelesaian ketika konflik dan permusuhan terjadi diantara kita yang
diisyaratkan dalam al Qur’an. Dengan moment Hari Raya Idhul Fitri tahun ini, kita berharap budaya silaturahmi dan halal bi halal akan semakin bermakna dan
semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya serta frekwensi bersilaturahmi
diantara kita juga semakin meningkat ritmenya, bukan hanya sekedar cukup di dunia maya. @arch