Kamis, 18 April 2024

ZAWACORNER : DO'A ZAWA KETIKA HUJAN

 


Kebumen - zaWAcorner : Hujan bagi sebagian orang mungkin dinilai hanya sebagai fenomena alam yang lumrah dan biasa. Sebuah siklus air yang berproses dari evaporasi, kondensasi, dan presipitasi yang terjadi di atmosfer hingga menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh ke permukaan bumi. Peristiwa jatuhnya titik-titik air dari atmosfer ke permukaan bumi, baik itu secara alami atau buatan inilah yang disebut dengan hujan menurut sainNamun bagi orang yang beriman, hujan juga merupakan tanda kebesaran Alloh SWT dan sebagai rahmat bagi alam semesta dan seisinya. Hal ini sebagaimana firman Alloh SWT dalam surat QS Ar-Ruum ayat 24 yang artinya “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, Dia memperlihatkan kilat kepadamu untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu dihidupkannya bumi setelah mati (kering). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mengerti”.

Hujan, sebagai bukti tanda kebesaran Alloh SWT dan sebagai rahmat bagi alam semesta, maka sudah sewajarnya dan semestinya jika ketika hujan turun kita bersyukur dan berdo’a, sebagaimana do’a Rosululloh SAW ketika melihat hujan turun Alloohumma shayyiban naafi'aa, yang artinya “Ya Alloh, jadikan curahan hujan ini yang membawa manfaat kebaikan”. Makna dari untaian do’a ini berarti permohonan kepada Alloh SWT agar hujan yang turun, hujan yang bermanfaat yang memberi kebaikan bagi alam semesta, bukan hujan yang mendatangkan bencana dan ujian bagi alam semesta dan seisinya.

Bagi pemerhati dan pemerduli zakat, ketika hujan turun mereka tak lupa juga berdo’a dan senantiasa berbaik sangka, hujan turun bukan hanya sekedar hujan yang bermanfaat dan yang memberikan kebaikan bagi alam semesta dan seisinya, akan tetapi mereka juga menyelipkan do’a dan pengharapan agar kiranya turunnya hujan ini, juga sebagai reward karena semakin baiknya kesadaran dan kepedulian para mustahiq dalam menunaikan kewajibannya membayar zakat. Hal ini mengingat bahwa Rosululloh SAW pernah bersabda dalam hadits hasan shohih yang diriwayatkan ibn Majah, Beliau bersabda, “Tidaklah mereka menahan zakat hartanya, melainkan Alloh SWT akan menahan tetesan hujan dari langit, dan kalau saja bukan karena hewan-hewan niscaya mereka tidak akan dituruni hujan”. Wallohu'aklam

@doelhakeem


Selasa, 02 April 2024

REFLEKSI SYAWALAN : MEMBUKA BUHUL DAN MENGIKHLASKAN

 

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan menghabiskan kesalahan serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

 ( QS. At-Taghabun/64:14 )

Halal bi halal di negara kita sudah menjadi sebuah budaya yang khas terutama pasca menjalankan ibadah puasa di bulan Romadhon. Budaya halal bi halal ini mengandung sebuah harapan besar di kalangan masyarakat kita, dimana secara vertikal setelah terhapusnya dosa-dosa dihadapan Alloh SWT sebagai ujroh dari ibadah puasa kita di bulan Romadhon, maka secara horisontal kita pun berusaha untuk saling memaafkan segala kesalahan dengan sesama manusia dengan jalan bersilaturahmi dalam bingkai budaya “halal bi halal“ ini. Sehingga substansi kegiatan ini sebenarnya adalah kerelaan untuk bermaaf-maafan sebagai pangkal tolak untuk kembali memulai kehidupan yang fitroh.

Budaya halal bi halal pasca Romadhon ini sudah sekian lama tumbuh dan berkembang pada semua lapisan masyarakat kita, baik dari kalangan masyarakat lapisan atas sampai dengan kalangan paling bawah. Mereka semua sudah mentradisikan moment ini sebagai sebuah ajang untuk bersilaturahmi dan saling maaf memaafkan diantara mereka setelah berinteraksi selama satu tahun lamanya. Budaya halal bi halal dalam perkembangannya dari tahun ke tahun kalau kita mau amati justru semakin menurun kuantitas dan kualitasnya, bahkan cenderung terjebak pada euforia sesaat. Keadaan ini semakin diperdangkal maknanya  dengan adanya kemajuan teknologi telekomunikasi yang begitu pesat dewasa ini, dimana budaya halal bi halal dengan bersilaturahmi dan saling maaf memaafkan diantara mereka sering kali dianggap sudah cukup hanya dengan perantara kecanggihan alat telekomunikasi seperti Handphone, WhatsApp, Facebook dan lain sebagainya. Sehingga greget dan keceriaan masyarakat kita dalam menyambut hari raya Idhul Fitri dan budaya halal bi halal ini semakin tahun semakin terasa hambar. Begitu juga frekwensi bersilaturahmi diantara kita semakin jarang terjadi, dan ucapan saling maaf memaafkan juga semakin terasa kering dalam kerongkongan kita.

  Kata halal bi halal dengan budaya bersilaturahmi dan saling maaf memaafkan banyak asumsi yang mengatakan tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab dan hanya ditradisikan di Indonesia saja. Namun menurut Prof. Dr. Salman Harun kata halal bi halal sebenarnya terdapat dalam kamus bahasa Arab meski dalam ungkapan yang berbeda, dimana menurut kamus kata “halal” memiliki dua makna yaitu membuka buhul dan mengihlaskan. Sehingga kata halal bi halal secara harfiyah berarti halal dengan halal dan bisa diartikan juga sebagai ungkapan untuk saling memaafkan satu sama lain atau tindakan saling memaafkan dalam interaksi antar manusia.

Dalam Islam, tindakan saling memaafkan dalam interaksi antar manusia lebih lanjut disinggung dalam al Qur’an surat al Taghabun (46) ayat 14, dimana didalamnya telah tersirat mekanisme yang mengisyaratkan bahwa interaksi antar manusia pada saat tertentu adakalanya akan menimbulkan suatu konflik dan permusuhan diantara mereka, baik konflik dan permusuhan yang terjadi dalam satu tingkatan (dengan istri-istrimu) maupun konflik dan permusuhan yang terjadi dalam tingkatan yang berbeda (dengan anak-anakmu). Sebagaimana dipahami dari ayat tersebut, solusi ketika konflik dan permusuhan ini terjadi maka ada tiga tingkatan antisipasi penyelesaian yang berbeda yang ditawarkan, yaitu memaafkan, menghabiskan kesalahan dan mengampuni.

     1. Memaafkan ( ‘afw )

Kata memaafkan adalah sebuah tindakan yang ditujukan atas kesalahan seseorang atau orang lain. Memaafkan berarti menghapus kesalahan sesesorang atau orang lain sehingga kesalahan tersebut hilang dalam file ingatan kita. Seseorang yang mampu melakukan hal ini berarti pula ia telah bersifat pemaaf dan perkasa. Karena memang hanya orang-orang yang berjiwa besar dan perkasalah yang mampu memaafkan atau menghapus kesalahan orang lain dari file ingatannya. Tindakan memaafkan atau menghapus kesalahan seseorang atau orang lain merupakan tindakan yang sangat mulia. Menghapus kesalahan seseorang atau orang lain dalam file ingatan kita tidaklah bisa sebersih sebelum terjadinya kesalahan itu sendiri. Bekas luka goresan kesalahan itu adakalanya masih tampak berbekas dan tidak menutup kemungkinan pada saat-saat tertentu akan dapat menebal kembali menjadi sebuah kesalahan  abadi.

2. Menghabiskan kesalahan ( safh )

Menghabiskan kesalahan (safh) seakan memiliki pengertian yang sama dengan menghapus kesalahan (‘afw), padahal secara harfiyah kata safh berarti lembaran dalam arti memberikan lembaran baru yang masih bersih. Tingkatan antisipasi penyelesaian yang kedua ini berarti memaafkan kesalahan bukan sekedar menghapus kesalahan saja, akan tetapi menghabiskan kesalahan dengan mengganti lembaran baru dalam file ingatan kita. Maksudnya jika suatu kesalahan hanya sebatas dihapus dari atas lembaran kertas saja, maka tentu masih tertinggal juga sedikit noda di atas kertas tersebut, namun jika kita mengganti kertas tersebut dengan yang baru dan bersih, maka tentu tidak akan ada noda di atasnya. Kemudian dari kata safh ini terambil juga kata safhah dan musha-fahah yang berarti muka dan bersalaman, maka tingkatan menghabiskan kesalahan diantara yang bersalah dalam hal ini diperlukan pertemuan dan berhadapan untuk memperlihatkan raut muka yang tulus dan jernih serta berjabatan tangan. Sehingga tingkatan menghabiskan kesalahan tidaklah cukup dengan handphone, internet dan lain sebagainya, akan tetapi perlu adanya pertemuan, bersilaturahmi dan halal bi halal. 

3. Mengampuni ( maghfirah )

Tingkatan yang ketiga adalah mengampuni (maghfirah) yang secara harfiyah berarti mengampuni dan melindungi dari segala yang mengganggu. Tingkatan ini merupakan rangkuman dari kedua tingkatan tersebut di atas, dalam arti bahwa disamping memaafkan kesalahan dan menghabiskan kesalahan seseorang dengan membuka lembaran baru yang bersih, namun juga sekaligus mengampuni dan melindungi dari segala yang mengganggu orang tersebut. Adalah Rosululloh SAW sebagai uswah bagi kita, sejarah telah mencatat ketika Beliau hijrah ke Thoif pasca wafatnya istri Beliau Siti Khotijah dan paman beliau Abu Tholib untuk menemui saudara Beliau Bani Kinanah, akan tetapi ternyata disambut dengan cacian dan lemparan batu menolak kedatangan Beliau atas hasutan Abu Jahal dan Amr bin Ash. Beliau terluka dan teraniaya, namun beliau tetap bersabar dan lebih suka mengampuni dan mendo’akan untuk kebaikan dan kesadaran penduduk Thoif, walaupun sesungguhnya para Malaikat menawarkan agar Beliau memohon pada Alloh SWT untuk membalikkan tanah Thoif dan para penduduknya. Kemudian dalam kisah yang lain, diceritakan ada seorang Quraisy Jahiliyah yang selalu meludahi Rosululloh SAW setiap kali beliau berangkat dan pulang ke Masjid, namun Beliau pun tetap bersabar dan mengampuni orang tersebut. Bahkan ketika orang tersebut sakit, Beliau pulalah orang pertama yang menengok, mendo’akan dan memberikan makanan untuknya serta melindungi keselamatannya

Demikianlah tiga tingkatan antisipasi penyelesaian ketika konflik dan permusuhan terjadi diantara kita yang diisyaratkan dalam al Qur’an. Dengan moment Hari Raya Idhul Fitri tahun ini, kita berharap budaya silaturahmi dan halal bi halal akan semakin bermakna dan semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya serta frekwensi bersilaturahmi diantara kita juga semakin meningkat ritmenya, bukan hanya sekedar cukup di dunia maya@arch

ZAWACORNER : DO'A ZAWA KETIKA HUJAN

  Kebumen - zaWAcorner  : Hujan bagi sebagian orang mungkin dinilai hanya sebagai fenomena alam yang lumrah dan biasa. Sebuah siklus air y...